Abstract:
Industri kendaraan listrik berkembang pesat karena kekhawatiran emisi gas rumah
kaca, meningkatkan permintaan baterai ion litium dan nikel sulfat. Indonesia, dengan 42,3%
cadangan nikel dunia, memiliki potensi besar, terutama di Sulawesi, Maluku, Halmahera,
Papua, dan Kalimantan. Sejak 2020, pelarangan ekspor mineral mentah dan kewajiban
mendirikan smelter meningkatkan produksi nikel dalam negeri. Pendirian pabrik di Kawasan
Industri Morowali, Sulawesi Tengah, yang akan memproduksi Nikel (II) Sulfat Heksahidrat
dengan kapasitas 80.000 ton per tahun, dapat menjadikan Indonesia salah satu produsen
sumber bahan baku baterai mobil listrik terbesar di dunia.
Perancangan pabrik Nikel Sulfat akan dibangun pada tahun 2025 dan akan beroperasi
pada tahun 2027 dengan kapasitas 80.000 ton/tahun di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi
Tengah. Bahan baku yang digunakan pada proses ini adalah bijih Limonite dan Asam Sulfat
98%. Proses dari pembuatan Nikel Sulfat ini menggunakan metode High Pressure Acid
Leaching (HPAL) menggunakan reaktor tangki berpengaduk yang beroperasi pada suhu dan
tekanan tinggi. Setelah itu dilakukan proses pemurnian yang meliputi proses ekstraksi,
presipitasi dan pada tahap akhir dilakukan proses kristalisasi dan pengeringan untuk
mendapatkan Nikel Sulfat dalam bentuk kristal.
Pabrik Nikel Sulfat ini akan didirikan di atas lahan seluas 970.000 m2 di Kawasan
Industri Morowali, Sulawesi Tengah. Pabrik ini memperkerjakan 257 orang untuk
menjalankan pabrik ini, baik secara administrasi maupun operasional. Dalam
mengoperasikan pabrik ini diperlukan 2462 KWh, bahan bakar solar sebanyak 79150
liter/hari, dan kebutuhan air sebanyak 10357 L/jam dan gas nitrogen sebanyak 85690 L/jam.
Berdasarkan analisa ekonomi untuk mendirikan pabrik ini dibutuhkan modal tetap
sebesar Rp 13.179.323.357.787 dan modal kerja sebesar Rp 375.207.417.366 dengan
Internal Rate of Return (IRR) sebesar 52,4% dan berhasil mencapai Minimum Payback
Period pada 2 tahun 11 bulan.